BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Saat ini, penyakit muskuloskeletal telah menjadi
masalah yang banyak dijumpai di pusat-pusat pelayanan kesehatan di seluruh
dunia. Penyebab fraktur terbanyak adalah karena kecelakaan lalu lintas.
Kecelakaan lalu lintas ini, selain menyebabkan fraktur, menurut WHO, juga
menyebabkan kematian 1,25 juta orang setiap tahunnya, dimana sebagian besar
korbannya adalah remaja atau dewasa muda.
1.2 Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian dari traksi?
2. Apa
saja tujuan pemasangan traksi?
3. Apa
saja komplikasi dari pemasangan traksi?
4. Bagaimana
proses keperawatan dari pemasangan traksi?
5. Bagaimana
pendidikan kesehatan pada pasien pemasangan traksi?
1.3
Tujuan
1. Untuk
mengetahui pengertian dari traksi
2. Untuk
mengetahui tujuan pemasangan traksi
3. Untuk
mengetahui komplikasi dari pemasangan traksi
4. Untuk
mengetahui proses keperawatan dari pemasangan traksi
5. Untuk
mengetahui pendidikan kesehatan pada pasien pemasangan traksi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Traksi adalah penggunaan kekuatan
penarikan pada bagian tubuh. Ini dicapai dengan memberi beban yang cukup untuk
mengatasi penarikan otot.
Traksi adalah tahanan yang dipakai
dengan berat atau alat lain untuk menangani kerusakan ataugangguan pada tulang dan
otot.
Traksi
adalah pemasangan gaya tarikan ke bagian tubuh. Traksi digunakan untuk
meminimalkan spasme otot; untuk mereduksi, menyejajarkan dan mengimbolisasi
fraktur; untuk mengurangi deformitas; dan untuk menambah ruangan di antara
kedua permukaan patahan tulang. Traksi harus diberikan dengan arah dan besaran
yang diinginkan untuk mendapatkan efek terapeutik. Faktor – faktor yang
mengganggu keefektifan tarikan traksi harus di hilangkan.
Efek
traksi yang di pasang harus di evaluasi dengan sinar x dan mungkin diperlukan
penyesuaian. Bila otot dan jaringan lunak sudah rileks, berat yang digunakan
harus diganti untuk memperoleh gaya tarik yang diinginkan. Kadang, traksi harus
dipasang dengan arah yang lebih dari satu untuk mendapatkan garis tarikan yang
diinginkan. Dengan cara ini, bagian
garis tarikan yang diinginkan pertama berkontraksi terhadap garistarikan
lainnya. Garis-garis tarikan tersebut di kenal dengan fektor gaya. Resultan
gaya tarikan yang sebenarnya terletak diantara kedua garis tarikan tersebut.
Keuntungan pemakaian
traksi:
1. Menurunkan
nyeri spasme
2. Mengoreksi
dan mencegah deformitas
3. Mengimobilisasi
sendi yang sakit
Kerugian pemakaian
traksi
1.
Perawatan RS lebih lama
2.
Mobilisasi terbatas
3.
Penggunaan alat-alat lebih banyak.
Beban Traksi
1.
Dewasa = 5 – 7 Kg.
2.
Anak = 1/13 x BB
2.2 Indikasi
1. Traksi
rusell digunakan pada pasien fraktur pada plato tibia.
2. Traksi buck,
indikasi yang paling sering untuk jenis traksi ini adalah untuk
mengistirahatkan sendi lutut pasca trauma sebelum lutut tersebut diperiksa dan
diperbaiki lebih lanjut.
3. Traksi
Dunlop merupakan traksi pada ektermitas atas. Traksi horizontal diberikan pada
humerus dalam posisi abduksi, dan traksi vertical diberikan pada lengan bawah
dalm posisi flexsi.
4. Traksi kulit
Bryani sering digunakan untuk merawat anak kecil yang mengalami patah tulang
paha.
5. Traksi
rangka seimbang ini terutama dipakai untuk merawat patah tulang pada korpus
pemoralis orang dewasa.
6.
Traksi 90-90-90 pada fraktur tulang femur pada
anak-anak usia 3 thn sampai dewasa muda.
2.3 Tujuan
Pemasangan Traksi
1) Untuk
meminimalkan spasme otot.
2) Untuk
mengurangi dan mempertahankan kesejajaran tubuh.
3) Untuk
mengimobilisasi fraktur.
4) Untuk
mengurangi deformitas.
5)
Untuk menambah ruangan di antara kedua
permukaan patahan tulang.
2.4 Klasifikasi
Traksi
a. Menurut
jenisnya traksi, meliputi:
1.
Traksi
lurus atau langsung. Traksi ini memberi gaya tarikan
dalam satu garis lurus dengan bagian tubuh berbaring di tempat tidur.
Contohnya, traksi ekstensi Buck dan traksi pelvis.
2.
Traksi
suspensi seimbang. Traksi ini memberi dukungan pada
ekstremitas yang sakit di atas tempat tidur, sehingga memungkinkan mobilisasi
pasien sampai batas tertentu tanpa terputusnya gaya tarikan.
b. Menurut
cara pemasangannya traksi, sebagai berikut:
1. Traksi kulit
adalah traksi yang dapat dilakukan pada kulit. Berat beban yang dipasang tidak
boleh lebih dari 2-3 kg tetapi pada traksi pelvis umumnya 4,5-9 kg bergantung
pada berat badan paisen.
Traksi
kulit, antara lain:
a.
Ekstensi
Buck
(unilateral atau bilateral) adalah bentuk traksi kulit yang tarikan diberikan
pada satu bidang jika hanya imobilisasi parsial atau temporer yang diinginkan.
Traksi ini digunakan untuk memberi rasa nyaman setelah cedera pinggul sebelum
dilakukan fiksasi bedah. Sebelum dipasang traksi, kulit diinspeksi adanya
abrasi dan gangguan peredaran darah. Kulit dan peredaran darah harus dalam
keadaan sehat agar dapat menoleransi traksi. Kulit harus bersih dan kering
sebelum boot spon atau pita traksi
dipasang. Untuk memasang traksi Buck dengan pita, dipasang dulu spon karet, bantalan
strap dengan permukaan spon menghadap ke kulit pada kedua sisi tungkai yang
sakit. Satu lengkungan pita sepanjang 10-15 cm disisakan dibawah telapak kaki. Spreader harus dipasang di ujung distal
pita untuk mencegah terjadinya tekanan sepanjang sisi kaki. Kedua maleolus dan
fibula proksimal dilindungi dengan bantalan gips untuk mencegah terbentuknya
ulkus akibat tekanan dan nekrosis tulang. Sementara salah satu orang
meninggikan dan menyangga ekstremitas di bawah tumit dan lutut pasien, orang
lain melilitkan balutan elastis dengan arah spiral di atas pita traksi, dimulai
dari pergelangan kaki dan berakhir di tuberoses tibia. Balutan elastis dapat
membantu pita melekat ke kulit dan mencegah meleset. Bantalan kulit domba dapat
diletakkan di bawah tungkai untuk mengurangi gesekan tumit terhadap tempat
tidur. Jika yang dipasang traksi Buck dengan boot spon, tumit pasien harus diletakkan tepat di tumit boot. Strip
Velcro dipasang melingkar di tungkai dan tekanan yang berlebihan di atas
maleolus dan fibula proksimal dapat dihindari. Pemberat dihubungkan ke tali
melalui Spreader atau lapisan telapak kaki dan dilanjutkan melalui sebuah
katrol yang dipasang di ujung tempat tidur. Pemberat di gantungkan pada tali
itu.
b. Traksi runssel
dapat digunakan untuk praktur pada plato tibia, menyokong lutut yang fleksi
pada pengganmtung dan member gaya tarikan horizontal melalui pita traksi dan
balutan elastic ke tungkai bawah. Jika perlu, tungkai dapat disangga dengan
bantal agar lutut benar-benar fleksi dan menghindari tekanan pada tumit.
c. Traksi Dunlop
adalah traksi pada ekstremitas atas. Traksi horizontal diberikan pada humerus
dalam posisi abduksi dan traksi vertical diberikan pada lengan bawah dalam
posisi fleksi.
2. Traksi skelet
adalah traksi yang dilakukan langsung pada skelet/ tulang tubuh. Metoda traksi
ini digunakan paling sering untuk menangani praktur femur, tibia, humerus, dan
tulang leher. Traksi dipasang langsung ke tulang menggunakan pin logam atau
kawat (mis., tong Gadner, tong Wells) difiksasi di kepala untuk member traksi
yang mengimobilisasi fraktur leher.
Persiapan sangat berperan penting dalam menjalin
kerja sama dengan pasien. Pada pemasangan traksi dapat digunakan anestesi, baik
local maupun general. Traksi skelet dipasang secara asepsis seperti pada
pembedahan. Tempat penusukan dipersiapkan dengan penggosok bedah seperti
povidon-iodin. Anestesi local diberikan di tempat penusukan dan periosteum.
Dibuat insisi kecil di kulit dan pin atau kawat steril dibor kedalam tulang.
Pasien akan merasakan tekanan selama prosedur ini dan mungkin ada rasa tidak
nyaman ketika periosteum ditusuk.
Setelah
pemasangan pin atau kawat dihubungkan dengan lengkungan traksi atau kapiler,
ujung kawat dibungkus dengan gabus atau plester untuk mencegah cedera pada
pasien. Pemberat dihubungkan dengan lengkungan pin atau kawat dengan sistem
katrol Tali
yang dapat meneruskan arah dan tarikan yang sesuai agar traksi efektif. Traksi
skelet biasanya menggunakan beban 7-12 kg untuk mencapai efek terapi. Pemberat
yang dipasang harus dapat melawan daya pemendekan akibat spasme otot yang
cedera. Ketika otot relaks pemberat dapat dikurangi untuk mencegah dislokasi
garis fraktur dan mencapai penyenbuhan fraktur.
Bebat
Thomas dengan pengait Pearson sering digunakan bersma-sama traksi skelet pada
fraktur femur.
3.
Traksi
manual adalah traksi yang dapat dipasang dengan tangan.
Ini merupakan traksi yang sementara yang dapat digunakan pada saat pemasangan
gips, member perawatan kulit di bawah boot busa ekstensi Buck,atau saat menyesuaikan
dan mengatur alat traksi.
2.5 Prinsip
Traksi Efektif
Pada
pemasangan traksi, harus dipikirkan adanya kontraksi, yaitu gaya yang bekerja
dengan arah yang berlawanan. Umumnya berat badan pasien dan pengaturan posisi
tempat tidur mmnpu memberi kontraksi. Yang harus diperhatikan dalam hal
pemasangan traksi ini, antara lain:
1.
Kontraksi harus dipertahankan agar
traksi tetap efektif.
2.
Traksi harus bersinambungan atau tidak
boleh putus agar reeduksi dan imobilisasi bteratur efektif, terutama traksi skelet
3.
Pemberat tidak boleh diambil, kecuali
jika traksi nuntuk tujuan intermiten.
4.
Setiap factor yang dapat mengurangi
tarikan atau mengubah garis resultan tarikan harus dihilangkan.
a.
Tubuh pasien harus dalam keadaan sejajar
dengan pusat tempat tidur ketika traksi dipasang
b.
tali tidak boleh macet
c.
pemberat harus tergantung bebas dan
tidak boleh terletak pada tempat yidur atau lantai
d. simpul
pada tali atau telapak kaki tidak boleh menyentuh
katrol atau kaki
tempat tidur.
2.5 Pemeriksaan
Diagnostik
1.
Pemeriksaan Foto polos servikal
Tes
diagnostic pertama yang sering dilakukan pada pasien dengan keluhan nyeri
leher. Foto polos sevikal sangat penting untuk mendeteksi adanya fraktur dan
subluksasi pada pasien dengan trauma leher.
2.
CT Scan
Pemeriksaan
ini dapat memberikan visualisasi yang baik komponen tulang sevikal dan sangat
membantu bila ada fraktur akut.
3.
MRI
Pemeriksaan ini sudah menjadi metode imajing pilihan untuk daerah sevikal MRI dapat mendeteksi kelainan ligament maupun discus.MRI menggunakan medan magnet kuat dan frekuensi radio dan bila bercampur dengan frekuensi radio yang dilepaskan oleh jaringan tubuh akan menghasilkan citra MRI yang berguna dalam mendiagnosis tumor, infrak, dan kelainan pada pembuluh darah. Pada pemeriksaan ini, penderita tidak terpajan oleh radiasi dan tidak merasa nyeri walaupun pasien dapat mengeluh klaustrofobia dan suara logam yang mengganggu selama prosedur ini.
Pemeriksaan ini sudah menjadi metode imajing pilihan untuk daerah sevikal MRI dapat mendeteksi kelainan ligament maupun discus.MRI menggunakan medan magnet kuat dan frekuensi radio dan bila bercampur dengan frekuensi radio yang dilepaskan oleh jaringan tubuh akan menghasilkan citra MRI yang berguna dalam mendiagnosis tumor, infrak, dan kelainan pada pembuluh darah. Pada pemeriksaan ini, penderita tidak terpajan oleh radiasi dan tidak merasa nyeri walaupun pasien dapat mengeluh klaustrofobia dan suara logam yang mengganggu selama prosedur ini.
4.
Elektrokardiografi
Pemeriksaan ini membantu mengetahui
apakah suatu gangguan bersifat neurogenik atau tidak. Karena pasien dengan
spasme otot, atritis juga mempunyai gejala yang sama. Selain itu juga untuk
menentukan level dari iritasi/ kompresi radiks, membedakan lesi radiks dan lesi
saraf perifer, membedakan adanya iritasi atau kompresi.
2.6 Prinsip
Perawatan Traksi
1.
Berikan tindakan kenyamanan (contoh: sering ubah
posisi, pijatan punggung) dan aktivitas terapeutik.
2.
Berikan obat sesuai indikasi contoh analgesik relaksan
otot.
3.
Berikan pemanasan lokal sesuai indikasi.
4.
Beri penguatan pada balutan awal/ pengganti sesuai
dengan indikasi, gunakan teknik aseptic dengan tepat.
5.
Pertahankan linen klien tetap kering, bebas keriput.
6.
Anjurkan klien menggunakan pakaian katun longgar.
7.
Dorong klien untuk menggunakan manajemen stress,
contoh: bimbingan imajinasi, nafas dalam.
8.
Kaji derajat imobilisasi yang dihasilkan
9. Identifikasi
tanda atau gejala yang memerlukan evaluasi medik, contoh: edema, eritema
2.7 Komplikasi
a.
Dekubitus
Kulit pasien diperiksa sesering
mungkin mengenai tanda tekanan atau lecet. Perhatian khusus diberikan pada
tonjolan tulang. Perlu diberikan intervensi awal untuk mengurangi tekanan.
Perubahan posisi pasien perlu sering dilakukan dan memakai alat pelindung kulit
sangat membantu. Bila risiko kerusakan kulit sangat tinggi, seperti pada pasien
trauma ganda atau pada pasien lansia yang lemah, perawat harus berkonsultasi
dengan dokter mengenai penggunaan tempat tidur khusus untuk membantu mencegah
kerusakan kullit. Bila telah terbentuk ulkus akibat tekanan, perawat harus
berkonsultasi dengan dokter mengenai penanganannya.
b.
Kongesti paru/pneumonia.
Paru pasien
diauskultasi untuk mengetahui status pernapasannya. Pasien diajari untuk
menarik napas dalam dan batuk-batuk untuk membantu pengembangan penuh paru-paru
dan mengeluarkan skresi paru. Bila riwayat pasien dan data dasar pengkajian
menunjukkan bahwa pasien mempunyai resiko tinggi mengalami komplikasi
respirasi, perawat harus berkonsultasi dengan dokter mengenai penggunaan terapi
khusus. Bila telah terjadi masalah respirasi, perlu diberikan terapi sesuai
resep.
c.
Konstipasi dan anoreksia.
Penurunan
motilitas gastrointestinal menyebabkan anorekksia dan konnstipasi. Diet tnggi
serat dan tinggi cairan dapat membantu merangsanng motilitas gaster. Bila telah
terjadi konstipasi, perawat dapat berkonsultasi dengan dokter mengenai
penanganannya, yang mungkin meliputi pelunak tinja, laksatif, supositoria, dan
enema. Untuk memmperbaiki nafsu makan pasien, harus dicatat makanan apa yang
disukai pasien dan dimasukkan dalam program diet, sesuai kebutuhan.
d.
Stasis dan infeksi saluran kemih.
Pengosongan
kandung kemih yang tak tuntas Karena posisi pasien di tempat tidur dapat
mengakibatkan stasis dan infeksi saluran kemih. Selain itu pasien mungkin
merasa bahwa menggunakan pispot di tempat tidur kurang nyaman dan membatasi
cairan masuk untuk mengurangi frekuensi berkemih. Perawat harus memantau
masukan cairan dan sifat kemih. Perawat harus mengajar pasien untuk meminum
cairan dalam jumlah yang cukup dan berkemih tiap 2 sampai 3 jam sekali. Bila
pasien memperlihatkan tanda dan gejala infeksi saluran kemih, perawat segera
berkonsultasi dengan dokter mengenai penanganan masalah ini.
e.
Trombosi vena profunda.
Stasis vena terjadi akibat
imobilitas. Perawat harus mmengajar pasien untuk malakuka latihan tumit dan
kaki dalam batas terapi traksi secara teratur sepanjang hari untuk mencegah
terjadinya trombosis vena provunda (DVT). Pasien didorong untuk meminum air
untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsenntrasi yang menyertainya, yang akan
mengakibatkan stasis. Perawat memantau pasien terhadap terjadinya tanda DVT dan
melaporkan hasil temuannya segera mungkin ke dokter untuk evaluasi definitive
dan terapi.
2.8 Asuhan
Keperawatan
a. Pengkajian
Pengkajian
fungsi sistem tubuh perlu dilakukan terus-menerus karena imobilisasi dapat
menyebabkan terjadinya masalah pada kulit, respirasi, gastrointestinal,
perkemihan, dan kardiovaskuler. Masalah tersebut dapat berupa ulkus akibat
tekanan, kongesti paru, konstipasi, kehilangan nafsu makan, statis kemih, dan
infeksi saluran kemih.
Pengkajian
psikologis perlu dilakukan karena pasien takut peralatannya dan cara
pemasangannya. Pasien sering menunjukkan kebingungan, disorientasi, dan depresi
karena pasien terimobilisasi dalam waktu yang cukup lama.
Pengkajian
dilakukan apada bagian tubuh yang ditraksi meliputi status neurovaskular (mis.,
warna, suhu, pengisian kapiler, edema, denyut nadi, perabaan, kemampuan
bergerak) yang dievaluasi dan dibandingkan dengan ekstremitas yang sehat.
Selain itu, kaji adanya nyeri tekan betis, hangat, kemerahan, pembengkakan,
atau tanda homan positif (ketidaknyamanan pada betis ketika didorsofleksi
dengan kuat) karena merupakan tanda trombosis vena profunda.
b. Diagnosa
Keperawatan
Diagnosis keperawatan
yang mungkin muncul pada pasien ditraksi, yaitu:
1. Risiko
tinggi perubahan integritas kulit yang berhubungan dengan pemasangan traksi.
2. Risiko
tinggi infeksi yang berhubungan dengan pemasangan pin pada tulang melalui
permukaan kulit.
3. Kurang
pengetahuan mengenai program terapi.
4. Ansietas
yang berhubungan dengan status kesehatan dan alat traksi.
5. Nyeri
yang berhubungan dengan traksi dan imobilisasi.
6. Kurang
perawatan diri: makan, higiene, atau toileting yang berhubungan dengan traksi
7. Gangguan
mobilitas fisik yang berhubungan dengan proses penyakit dan traksi.
8.
Risiko tinggi gangguan pola eliminasi
defekasi, yaitu konstipasi
c. Intervensi
dan Implementasi
Intervensi dan implementasi
keperawatan yang dilakukan sesuai dengan diagnosis yang ditemukan, seperti yang
digambarkan pada tabel hlm. 40-45.
d. Evaluasi
Hasil yang diharapkan
setelah dilaksanakan intervensi keperawatan:
1. Menunjukan
tidak ada tanda iritasi kulit, ekstremitas warna normal, dan hangat, tidak
bengkak, dan nadi teraba.
2. Menunjukan
tidak terdapat tanda infeksi: suhu dibawah 37oC, jumlah sel darah
putih 5000-10.000/mm3, tidak ada nyeri pada luka, tidak ada tanda
kemerahan dan drainase pada sisi pin.
3. Menunjukkan
pemahaman tentang program traksi:
a. Menjelaskan
tujuan traksi
b. Berpartisipasi
dalam rencana perawatan
4. Memperlihatkan
berkurangnya ansietas:
a. Tampak
relaks
b. Menggunakan
mekanisme koping efektif
c. Mengekspresikan
keprihatinan dan perasaannya
5. Menyebutkan
peningkatan kenyamanan:
a. Kadang-kadang
meminta analgesia oral
b. Mengubah
posisi sendiri sesering mungkin
6. Melakukan
aktivitas perawatan diri, memerlukan sedikit bantuan pada saat memenuhi
kebutuhan sehari-hari.
7. Menunjukan
mobilitas yang meningkat, melakukan latihan yang dianjurkan
8. Pola
eliminasi defekasi teratur, dan perut lemas.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Traksi
adalah pemasangan gaya tarikan ke bagian tubuh. Traksi harus diberikan dengan
arah dan besaran yang diinginkan untuk mendapatkan efek terapeutik. Faktor –
faktor yang mengganggu keefektifan tarikan traksi harus di hilangkan.
Efek
traksi yang di pasang harus di evaluasi dengan sinar x dan mungkin diperlukan
penyesuaian. Bila otot dan jaringan lunak sudah rileks, berat yang digunakan
harus diganti untuk memperoleh gaya tarik yang diinginkan.
3.2 Saran
Penulis
menyarankan kepada pembaca khususnya mahasiswa keperawatan agar dapat memahami
konsep penyakit traksi maupun penatalaksanaanya baik medis maupun dari sisi
perawatannya. Hal ini diharapkan mampu meningkatkan kinerja dan kualitas
perawat di indonesia dalam menangani berbagai kasus penyakit dalam upaya
meningkatkan pelayanan kesehatan sehingga tercapainya visi indonesia sehat 2015.